Rantai MSC #5

   


Suara gemuruh sepatu yang beradu dengan lantai marmer di sepanjang lorong kelas menjadi ritme yang indah ketika berpadu dengan alunan tak beraturan dari rintik air hujan yang berkonsolidasi dengan plafon. Beberapa orang mungkin merasakan bahwa itu merupakan perpaduan yang indah namun bagi sebagian yang lain mungkin akan mengeluh karena lupa membawa payung untuk menghindari air hujan yang akan membasahi tubuh ataupun tas mereka, atau mungkin sebagian yang lain merasa biasa saja dan tidak menganggap perpaduanitu indah maupun mengganggu. 

Sama sepertiku. 

Aku tidak menganggap itu adalah hal yang indah namun hal itu juga tidak menggangguku. Aku menikmati tiap tetes air hujan membasahi kaca jendela. Kunikmati setiap ritme rerintikan itu sambil menyenderkan tubuhku di kursi dan menatap kosong ke luar jendela. 

Bukan hujan yang kupikirkan, melainkan ujian tengah semester yang baru saja berakhir hari ini.

Hampir dua bulan aku berkecimpung di dunia perkuliahan namun hari ini adalah hari dimana aku merasa bahwa sebagian duniaku telah hancur. Hari dimana aku merasa bahwa aku salah menentukan pilihan, aku merasa bahwa aku mengutamakan gengsi dan ego sehingga aku merasa aku bisa melalui perkuliahan ini dengan aman dan tentram dan memperoleh ip diatas 3,5. Namun ku rasa aku salah. Ku rasa aku kurang kuat dalam berdoa dalam tiap sujud istikharahku. Ku rasa aku kurang rendah ketika aku menangis dan meminta petunjuk pada Alloh di tiap sepertiga malamku. Ku rasa Alloh tidak memberiku petunjuk ketika aku memintapada-Nya pilihan yang terbaik bagiku untuk kutempuh selepas SMA. Tak terasa bulir-bulir air mata kembali menggenang di pelupuk. 

“Aretha Dianah Ariani! Mau balek gak?!” Suara bass dari daun pintu membuyarkan lamunanku dan menghempaskan pikiranku begitu saja. Dengan cepat aku menghapus air mataku yang menetes begitu ku gerakkan bola mataku ke arah pintu. Dan beranjak untuk merapikan barang-barangku sambil membelakangi lelaki yang berjalan cepat ke arahku.

“Tha, lo nangis?” tanyanya pelan disampingku. Aku menggeleng cepat. Menoleh padanya dan tersenyum paksa, “No, I’m fine.” Jawabku cepat dan berjalan pelan menuju pintu.

“Jujur sama gue, Tha. Lo nangis kan?” tanyanya sambil menahan lenganku. Aku menghela napas pelan dan berbalik menatapnya. “Abbas Diarta Anarya, gue tahu lo itu kembaran gue, tapi bisa gak lo lepasin tangan gue,” Jawabku sambil membenarkan lengan jaket yang turun karena tarikan tertahan dari Abbas, lelaki itu, begitu ia melepaskan cengkeramannya.

Abbas melepaskan lengaku dan berjalan pelan mengikuti dari belakang. “Lo nangis kan, Tha? Lo kenapa sih?” tanyannya lagi, mendesakku untuk menjawabnya. Aku menghela nafasku kencang. “Ntar aja. Sono ke masjid, lo ada kumpul pengurus rohis kan? Sono gih, jangan buat aa Aqeel marah lagi karena lo telat.” Jawabku cepat sambil meninggalkannya yang menghela napas pelan sambil berbalik dan berjalan berlawanan arah denganku. “Lo sudah sarapan belum tadi? Muka lo pucet banget.”

Aku mendongakkan kepalaku ke atas, membiarkan bulir-bulir air hujan itu menerpa wajah dan melebur bersama air mata yang sudah terlepas dari bendungannya. Aku berjalan pelan dan memutuskan berhenti di taman samping kampus, membiarkan tas dan bajuku basah terguyur air hujan. Meruntut segala perbuatan yang kulakukan hingga berakhir aku tak bisa mengerjakan apa-apa pada lembar jawaban ujian kimia anorganik dan berusaha menahan getar tanganku karena sedari tadi belum menguyah apapun. Ya, aku baru saja menghabiskan 50 ribu terakhirku di hari minggu kemarin untuk keluarga fakir yang anaknya terus menangis karena kelaparan hingga menyisakan beberapa uang kecil di dompetku dan tadi malam aku baru saja menghabiskan 10 ribu, lembar uang terakhir di dompetku, untuk seorang janda tua yang tak punya uang untuk naik angkot dan berakhir dengan aku mengantarnya pulang, aku tidak tega membiarkannya pulang sendiri. Dan alhasil aku harus menelpon Abbas untuk menjemputku karena uangku habis malam itu dan aku beralasan kalau aku lupa membawa dompet dan hanya membawa uang 10 ribu. 

Aku menangis lagi dan menumpahkan semuanya di taman itu. Itung-itung taman itu jarang di datangi mahasiswa karena laetaknya yang tidak strategis. Aku mulai berfikir bahwa Alloh tidak lagi sayang padaku. Aku sudah melakukan kebaikan yang sedemikian rupa tapi Alloh tidak memberikan balasannya padaku padahal Ia sudah berjanji akan membalasnya walaupun itu seberat biji zarrah. Tangisku tambah kencang, pundakku naik turun tak karuan. 

Aku marah dan tidak terima akan semua ini. Mengapa yang ia beri padaku sekarang justru rasa lapar dan kekhawatiran akan nilai jelek karena semalam aku tidak belajar. Ingin rasanya aku berteriak dan tidak terima akan semua ini. Aku merasa hidupku sungguh tidak adil. Hingga semua itu berakhir dengan pandangan yang mengabur dan gelap.

***

“Atha…Tha…, bangun Tha!” panggil Abbas sambil menepuk-nepuk pipiku pelan. Air yang menetes menyentuh kelopak mataku dari rambutnya yang basah membuatku tersadar danmulai mengerjap-ngerjapakan mataku. Berusaha menormalisasikan keadaan saat ini dan mendapati diriku berada di ruangan serba putih dan tercium bau obat-obatan. Aku meringis begitu merasakan sakit yang begitu parah di perutku. Abbas memelukku begitu melihatku meringis, “Lo kenapa Tha? Cerita sama gue. Jujur, lo sudah makan apa belum?” tanyanya. 

Terlihat raut khawatir dalam guratan di wajahnya. Aku menggeleng lemah, “Belum Bas.” Akukembali menangis di pelukannya. Hening menyelimuti ruangan dan hanya menyisakan isakan tangis dan samar suara hujan dari balik pintu dan jendela. Bu Isna, penanggung jawab uks kampus menggeleng pada Abbas, menandakan diriku yang tidak baik-baik saja. Setelah meresepkan obat dan memberikan obatnya pada Abbas, Bu Isna pamit pindah ke sekat di sampingku.

Abbas menatapku khawatir, “kalo ada apa-apa sama lo, pasti yang disalahin gue. 

Bagaimanapun juga gue yang keluar lebih dulu. Kalo lo ada apa-apa cerita gih sama gue. 

Jangan nyiksa diri gini.” Gerutunya. Aku tersenyum kecil dan mengangguk membenarkan posisi duduk dan mulai menceritakan kejadian-kejadian itu pada Abbas. Abbas terseyum dan mengelus kepalaku pelan.

“Karena itu gue gak bisa ngerjain soal. Ditambah gue laper banget belum makan sejak semalem. Gue ngerasa Alloh itu gak sayang lagi deh sama gue. Gue sudah berbuat baik tapi gue ngerasa hidup gue mengenaskan banget.” Gerutuku. Membuat bulir-bulir air mata kembali menghiasi mataku.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,” Abbas tersenyum, “Al-Baqoroh 155” ia terus tersenyum danmenggenggam tanganku erat. “Lo pernah bayangin nggak, apa yang dirasakan sama janda tua yang lo anter pulang? Lo tahu gak apa yang dirasakan kelaurga yang lo kasih 50 ribu itu?”tanyanya kemudian.

Aku terdiam, tentu saja mereka bahagia. “Lo itu sudah mahasiswa, Tha. Lo tuh harusnya bisa mikir klo sebenarnya hidup lo itu gak sebatas gitu aja. Lo di kasih susah dikit langsung ngeluh. Mereka yang susah bertahun-tahun aja masih terus berpikir kalau Alloh itu baik dan suatu saat pasti akan membalas setiap doa hambanya. Bahkan gue yakin mereka mendoa’akan lo biar lo dibalas kebaikannya sama Alloh. Gue yakin mereka meminta kebahagiana buat lo. Lo nya aja yang nggak sabar dan ujung-ujungnya lo bakal nggak ikhlas nolong mereka.” Abbas menepuk punggung tanganku pelan. “Alloh itu sebelum memberi hadiah pasti bakal menguji hambanya terlebih dahulu, cocok nggak di beri hadiah. Kalo modelan lo gini baru saja dikasih ujian rasa lapar dan ketakutan sudah ngerasa Alloh itu nggak adil gimana Alloh mau kasih balasan coba. Lo itu harus yakin, ini tuh ujian. Lo harus sabar karena Alloh pasti bakal ngasih lo balasan lewat tangan orang lain. Itulah siklus. Bisa jadi kebaikan keluarga itu dan janda itu dibalas Alloh melalui tangan lo. Berbahagialah kamu jadi perantara Alloh. Ngerti gak lo?” Ujarnya panjang lebar serasa menjadi ustad yang lagi dakwah di mimbar masjid.

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. “Nah karena lo sudah melakukan hal yang baik sampai lo kelaparan, nih Alloh titipkan makan siang dari tangan gue.” Ucapnya dan berhasil membuatku tertawa dan memukul pelan lengan Abbas. 

***

“Alloh tidak akan membebani seseorang diluar batas kemampuannya. “

QS. Al-Baqoroh (2) : 286

Komentar

Postingan Populer