RANTAI MSC #1




    Siang itu, sinar mentari tidak begitu terik. Sekumpulan awan tampak menggulung di langit, mengantarkan angin kesukaan anak-anak untuk mengudarakan layang-layang di tanah lapang. Sesaat suasana hening. Tidak ada suara tembakan ataupun desingan peluru yang melesat. Para orang tua memastikan apakah tak ada tanda serangan dari musuh. Setelah dirasa aman, anak-anak berhamburan keluar rumah sambil teriak kegirangan.

    “Alhamdulillah, hari ini Israel tidak menyerang!” sorak mereka gembira.

    Yusuf, salah satu dari kerumunan anak-anak itu, menghela napas panjang. Dia sudah siap bermain tetapi tetap waspada. Matanya menyapu kondisi sekitar. Pelintasan perbatasan Rafah atau gerbang yang membatasi antara Mesir dan Jalur Gaza tampak dijaga oleh segerombol tentara. Sebelum ia sempat melangkah, lengan Yusuf sudah ditarik oleh seseorang.

    “Hei, awas!” teriak seorang anak laki-laki berusia 12 tahun sambil menggenggam erat tangan Yusuf.

    Yusuf sontak terkejut. Pikirnya, ada pasukan musuh yang hendak mencelakainya. “Asyhadu alaa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar Rasuulullah.” batinnya spontan.

    “Hei, kenapa kamu membaca kalimat syahadat?” tanya lelaki yang menarik tangannya itu sambil terkikik.

    “Astagfirullah, Azam! Aku pikir aku akan mati hari ini.” gerutu Yusuf kesal.

    “Kita memang harus siap mati kapan saja, tapi aku ingin bermain dulu denganmu hari ini.” ujar Azam seraya mengelus pundak Yusuf. “Tadi kau hampir menabrak Zaid yang sedang memperbaiki layang-layang.”

    “Ah, maaf. Aku tidak melihatnya.” ucap Yusuf menyesal.

    “Tidak apa-apa, aku tahu kau sedang fokus melihat tentara itu.” tunjuk Zaid yang telah selesai menyambungkan tali layangannya. Tentara Gaza atau yang kerap disebut Militer Hamas itu berseragam lengkap. Mereka membawa soft gun, pistol, dan tameng untuk berjaga-jaga apabila zionis datang menggempur Gaza.

    “Kau ingin jadi tentara, Yusuf?” tanya Azam memastikan.

    “Tidak, aku ingin jadi dokter.” jawab Yusuf mantap. “Aku ingin mengobati orang-orang yang terluka.”

    “Wah, nanti kau bisa menyembuhkan teman-teman!” ucap Azam. “Ada 5 teman kita yang tidak bisa bertahan hari ini.”

    “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun…” tutur Yusuf dan Zaid berbarengan. Mata mereka berdua berkaca-kaca tetapi mereka tahan.

    “Jangan dipikirkan, mereka sedang berkumpul dengan malaikat sekarang.” Azam memeluk kedua sahabat karibnya itu. “Yusuf, Zaid, sudah berapa banyak hapalan kalian?”

    Yusuf menghitung dengan kedua jarinya. “Sepertinya 10 juz.”

    Zaid terkekeh mendengarnya. “Aku, dong, sudah 15 juz.”

    “Hei, jangan sombong! Aku sudah 20 juz. Wah… surgaku nanti lebih tinggi dari kalian!” kata Azam sambil terbahak-bahak.

    “Hei, dasar! Sama saja kamu!” omel Yusuf dan Zaid.

    Setelah bersenda gurau, akhirnya ketiga sahabat itu menuju tempat favorit mereka. Di sebelah timur kota Gaza, ada lahan bekas tempat pengumpulan sampah yang disulap menjadi taman bermain anak-anak. Taman itu bernama “Return Park” atau “Taman Kembali”. Terdapat ayunan dan gazebo yang sering digunakan oleh anak-anak untuk menghabiskan waktu luang.

    “Aku akan pergi ke Kairo minggu depan.” ungkap Yusuf membuka pembicaraan. “Pamanku mendaftarkanku ke SMP Al-Azhar.”

    “Masya Allah…” gumam Azam dan Zaid kompak. “Itu sekolah yang bagus!”

    Yusuf tersenyum parau. Ia memikirkan kelima temannya yang wafat hari ini karena tewas disergap musuh. Ia takut ini adalah saat-saat terakhirnya melihat wajah Azam dan Zaid. Tinggal di wilayah peperangan yang masih aktif melakukan gencatan senjata, membuat penduduk Jalur Gaza harus siap gugur kapan saja. Bagi mereka, lafadz syahadat sudah seperti mantra yang wajib dirapalkan setiap hari.

    “Itu berarti kesempatanku bertemu kalian tinggal sebentar lagi.” isak Yusuf tak kuat membendung tangisnya.

    Azam dan Zaid spontan merangkul sahabatnya yang dikenal cerdas itu. Kemudian Azam membacakan sepotong firman Allah pada juz ke-28, yaitu QS. Al-Jumu’ah ayat 8.

    “Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” lantun Azam dengan takzim.

    “Jika kau takut tak bertemu lagi dengan kami, perjumpaan di dunia tidaklah kekal, Yusuf. Kita harus banyak berdoa agar Allah berkenan mempertemukan kita lagi di surga. Lalu jika kau takut kami dibunuh, bukankah orang yang mati terbakar termasuk golongan orang yang syahid?” hibur Zaid sambil terkekeh. Tangannya meraih granat kosong yang tergeletak di dekat mereka. Granat itu bekas senjata yang membinasakan kelima temannya kemarin.

    “Kau masih bisa bertemu kami selagi Allah belum meridhoi kami untuk pulang.” goda Azam.

  “Pergilah, doa kami bersamamamu. Raih mimpimu. Dengan begitu, atas izin Allah, kau bisa menyembuhkan teman-teman kita.”

    Yusuf memeluk kedua sahabatnya kuat-kuat. Setiap hari mereka harus mampu melihat ratusan orang terbunuh di jalan Allah. Hingga kini, zionis tak pernah kenal lelah membumihanguskan kota-kota kecil di Palestina. Selepas bermain, anak-anak disana akan melaksanakan shalat jenazah untuk mendoakan mereka yang ‘pergi’ lebih dahulu. Tubuh mereka luluh lantak penuh luka dan darah. Minimnya tenaga medis, obat-obatan, dan fasilitas masyarakat di Jalur Gaza memotivasi Yusuf untuk menjadi dokter.

    “Jaga diri kalian baik-baik.” begitu pesan Yusuf sebelum lanjut bermain bersama Azam dan Zaid.

    Tujuh hari berlalu, hari dimana jadwal keberangkatan Yusuf telah tiba. Ia sudah berpamitan dengan kedua sahabatnya. Yusuf berangkat menuju Bandara Internasional El-Arish untuk bertolak dari Palestina ke Mesir. Ia tak berhenti mendoakan kedua sahabatnya bahkan saat pesawat yang ditumpanginya sudah lepas landas.

    Setelah mengantar Yusuf, Azam dan Zaid bergegas pulang menuju kediaman mereka. Mereka berjalan sembari menghapal surat-surat di Al-Quran. Tiba-tiba seorang pria paruh baya di hadapan mereka berteriak dengan kencang, “Tembak!”. Tembakan itu melesat, tapi tidak mengenai Azam dan Zaid.

    “Astagfirullah! Zionis!” seru Azam dan Zaid. Mereka segera berlari mencari tempat persembunyian.

    Kali ini serangan jarak dekat. Azam dan Zaid loncat lalu merangkak ke parit berbau busuk. Sepintas bau darah tercium oleh hidung mereka. Darah bekas mayit yang tewas terbunuh beberapa hari lalu.

    Mereka tak berhenti mengucapkan lafadz syahadat, membaca doa-doa agar diri dan keluarga mereka selamat atau mati syahid. Tangis mereka pecah namun tak menyurutkan ikhitar mereka untuk menyelamatkan diri.

    “Ana uhibbuka fillah (saya mencintaimu karena Allah), Zaid, sahabatku.” tutur Azam di tengah usaha melarikan diri mereka.

    “Ahabbaka-lladzii ahbabtanii lahu (semoga Allah mencintaimu, karena engkau telah mencintaiku karena-Nya), Azam.” balas Zaid tersedu-sedu.

    Parit yang dilewati Azam dan Zaid sudah menemui ujungnya. Mau tak mau mereka harus keluar. Sebelum kembali ke atas, mereka membaca doa kedua orang terlebih dahulu dan tak lupa mendoakan sahabatnya yang sedang dalam safar untuk menimba ilmu di perantauan.

    “Ya Allah, ya Tuhan kami, doa baik seorang Muslim kepada saudaranya yang tidak ia ketahui termasuk doa yang mujarab. Mohon berikan keselamatan dan kesehatan bagi sahabat kami, Yusuf. Mudahkanlah urusannya, wujudkanlah cita-citanya. Perkenankanlah pertemuan kami kembali di surga-Mu.”

    Sesaat setelah mereka beranjak keluar, angin mengantarkan desing peluru oleh pasukan penembak jitu dari pihak zionis. Zaid menunduk lesu menatap ke arah dadanya, sementara di sampingnya tergeletak Azam yang telah sakaratul maut. Wajah Azam pucat dan biru seperti kapur barus, dengan sepasang mata yang masih terbuka, seakan menatap jauh ke angkasa.

    “Yusuf, kami pergi lebih dulu, ya…” Azam menutup mata, disusul dengan Zaid yang jatuh terjerembab ke tanah.

    Di tengah perjalanan, dada Yusuf terasa sesak. Untuk menenangkan gemuruh di hatinya, Yusuf sampai komat-kamit membaca surah Yasiin hingga tiba waktunya pesawat mendarat.

    Sesampainya di Bandara Internasional Kairo, siaran televisi mengabarkan bahwa telah terjadi hujan bom dan peluru di jalur perbatasan Gaza dari siang hingga malam hari. Mata Yusuf tertuju pada dua anak laki-laki seusianya yang badannya terbalut setengah oleh kain putih. Kedua anak itu tampak berseri-seri dengan senyum di raut wajahnya walau kain itu bercorak darah.

    Yusuf mengusap air matanya lalu berujar, “Innalillahi wainna ilaihi rajiun… Terima kasih atas seluruh kebaikan kalian wahai sahabatku. Ana uhibbukum fillah. Insya Allah aku akan belajar sungguh-sungguh sebelum bertemu lagi dengan kalian. Sampai jumpa, sahabatku di Jalur Gaza…”

- Tamat -

Komentar

Postingan Populer