RANTAI MSC #7
Kumpulan Rangkaian Cerita Islami (RANTAI) MSC LDK KMA
___
Alkisah di sebuah gang kecil di sudut kota,
terdapat sebuah rumah berpagar tinggi yang dihuni oleh seorang pemuda. Pemuda
yang sedang berkerut dahinya, mondar-mandir diatas lantai pualam yang diselimuti
karpet berwarna merah menyala. Lima belas menit yang lalu, telepon telah
ditutupnya namun percakapan terus berlanjut dibawah alam sadarnya. Gemuruh
canda diiringi lontaran pamer harta, tak henti ia memikirkan kekayaan teman-temannya
yang melimpah dibanding dirinya. Secercah ide muncul tatkala mengingat sosok
yang tepat untuk menuntaskan gejolak hatinya, pemuda itu mengambil topi dan
jaket yang tersampir di sofa kemudian pergi keluar rumah.
___
Sinar matahari menembus jendela berlapis horden
keemasan, lelaki tua yang sedang menikmati secangkir chai terpaksa menyudahi kekhidmatannya untuk membukakan pintu yang
terketuk tak sabaran oleh seseorang diluar sana. Dibukakannya pintu tersebut, tampaklah
sebuah sumringah dari seorang pemuda seraya berkata, “Assalamu’alaikum kek! Boleh saya masuk?”
Rumah sederhana bercat krem itu sangat rapih,
meski banyak barang didalamnya. Sang pemuda tak tahan untuk mengelus tumpukan
buku yang terjajar amat tinggi ―persis pengganti tembok― di dalam rumah sang lelaki
tua.
“Coba utarakan kesulitanmu, barangkali aku
bisa membantu” kata sang lelaki tua, Amir Khan namanya.
Amir Khan adalah penasihat ulung dari kota
Begawan. Ia merupakan salah satu penasihat raja yang terkenal karena
kepiawaiannya dalam memberi nasihat. Selain menjadi penasihat raja, beberapa
penduduk di sekitar kota Begawan kerap mendatangi Amir Khan untuk meminta
nasihat yang manjur katanya― dan
tentu saja, ia tak merasa keberatan akan hal itu.
“Aku tinggal seorang diri di sebuah rumah yang
sempit. Aku merasa tidak bahagia. Aku ingin membeli rumah yang besar, persis
seperti teman-temanku yang kaya raya saat ini. Rasanya malu sekali tidak bisa
sepadan dengan mereka.” celetuk sang pemuda, yang baru-baru ini sukses membuka
cabang toko roti di ibu kota.
Amir Khan tersenyum, kemudian menyesap chai nya.
“Punyakah engkau seorang domba?” ucapnya
tenang.
“Tidak. Tetapi aku mampu membelinya.” jawab si
pemuda menggebu-gebu.
“Kalau begitu, belilah seekor domba dan
tempatkanlah ia di dalam rumahmu.”
Pemuda itu tidak membantah, selepas
menyambangi rumah Amir Khan, ia langsung membeli seekor domba seperti yang
disarankan.
___
Beberapa hari kemudian, sang pemuda kembali
mendatangi rumah Amir Khan.
“Wahai kakek. Aku telah melaksanakan saranmu. Tetapi
rumahku menjadi sesak karena kehadiran domba itu. Segala sesuatunya menjadi
lebih buruk dari biasanya”
“Kalau begitu belilah seekor kambing, dan
tempatkanlah ia di dalam rumahmu.”
Pemuda itu terkejut. Mulutnya bersiap untuk
berkomentar banyak hal. Namun, ia tetap bungkam.
Sang pemuda kembali pulang dengan wajah kusut
membawa seekor kambing lalu memasukkannya ke dalam rumah.
___
Beberapa hari kemudian, sang pemuda kembali
menyambangi rumah Amir Khan. Kali ini, ia bersiap untuk berperang dengan lelaki
tua itu. Langkahnya besar-besar, bulir di dahinya menetes sesampainya di depan
rumah Amir Khan.
“Wahai kek. Aku telah melaksanakan saranmu
dengan membeli seekor kambing. Namun, apakah engkau berniat membohongiku?
Karena demi Tuhan, aku tidak tahan dengan bau kotoran kambing dan domba yang
semakin menyiksa! Aku tidak betah!”
Amir Khan tertawa melihat pemuda tersebut. Ia
menepuk pundak sang pemuda seraya berkata, “Kalau begitu belilah seekor sapi
dan tempatkanlah ia di dalam rumahmu.”
Sang pemuda merasa tak terima. Wajahnya
tiba-tiba menjadi muram dan ia menunduk.
“Kek, aku tahu engkau seorang penasihat raja.
Tetapi apakah ini masuk akal? Kasihanilah aku.”
“Wahai pemuda, kau mendatangiku karena ingin
meminta nasihat dariku, ‘kan?”
Sang pemuda pulang ke rumah dengan langkah
gontai. Ia kembali menuruti saran Amir Khan untuk membeli seekor sapi dan
memasukkannya ke dalam rumah.
___
Hari demi hari berlalu. Sang pemuda kembali mendatangi rumah Amir Khan tanpa cerah diwajahnya. Ia berharap nasihat yang akan diterima nanti tidak kembali menyiksa dirinya. Yah, semoga, batinnya.
“Wahai kakek. Aku telah melaksanakan saranmu.
Tahukah engkau bahwa keadaan rumahku sekarang seperti neraka. Aku tidak tahan
dengan sapi, kambing, dan domba itu. Segalanya menjadi sangat mengerikan.
Bahkan aku tidur bersama kotoran hewan itu. Tidak bisakah engkau memberi belas
kasih kepadaku?” ujar sang pemuda putus asa.
“Baiklah. Jika kau merasa sudah tidak tahan,
jual lah sapi tersebut.”
Mata pemuda itu berpendar. Ia mengangguk
kemudian pulang ke rumahnya.
___
Beberapa hari kemudian, sang pemuda kembali
mendatangi rumah Amir Khan.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, wahai pemuda?”
ucap Amir Khan sambil tersenyum.
“Aku telah menjual sapi tersebut. Rumahku
menjadi sedikit lebih lega karena sapi itu tidak lagi disini. Namun kotoran
kambing dan domba masih terus menghantuiku.”
“Baiklah. Kalau begitu, jual lah kambing itu.”
Sang pemuda kembali menuruti saran Amir Khan
walau tanda tanya tak pernah hilang di benaknya.
___
Beberapa hari kemudian, sang pemuda kembali
menyambangi rumah Amir Khan.
“Bagaimana keadaan rumahmu?” kata Amir Khan
sambil menawarkan chai kepada sang
pemuda. Pemuda itu meneguknya hingga tandas kemudian mengelap sudut bibirnya.
“Keadaan menjadi lebih baik sekarang. Aku
merasa rumah semakin lega, tidak sesempit sebelumnya. Bau dan kotoran saat ini
hanya tersisa dari domba.”
“Baiklah, kalau begitu jual lah domba
tersebut.”
Mata sang pemuda berkaca-kaca. Seulas senyum
akhirnya terbingkai. Dengan senang hati, ia pulang ke rumah untuk menjual dombanya.
___
Beberapa hari kemudian, sang pemuda kembali mendatangi
rumah Amir Khan bersama buah tangan dan senyuman lebar. Ia melihat bunga-bunga mulai
bermekaran dipekarangan rumah lelaki tua itu. Tak terasa, aku seperti membersamai siklus hidup bunga ini, gelinya.
“Waalaikum
salam” sahut Amir Khan tiba-tiba.
“Hey, Assalamu’alaikum
kek! Bersediakah engkau mengijinkanku masuk? Paratha ini masih hangat, tak enak rasanya jika tak langsung
dinikmati.”
Amir Khan segera mempersilakan sang pemuda
masuk ke kediamannya.
“Minum chai bersama paratha memang kombinasi yang tak tertahankan.” ujar sang pemuda.
Amir Khan tertawa kecil, “Bagaimana kabar
rumahmu? Apakah masih ingin membeli rumah baru layaknya teman-temanmu itu,
wahai pemuda?
Sang pemuda menggeleng dengan paratha yang penuh di mulutnya. “Rumahku
sangaaat lega sekali setelah sapi, kambing, dan domba itu kujual. Semuanya menjadi
lebih baik sekarang. Aku merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Terima kasih.”
jawabnya sambil tersenyum riang.
“Dan tentu saja tidak. Aku tidak ingin menjual
rumah berhargaku itu, wahai kakek.” imbuhnya kemudian tertawa.
___
Begitulah kisah sang pemuda.
Sederhananya, kebahagiaan itu bukan tentang
apa yang kamu lakukan, apa yang kamu capai, atau apa yang telah kamu berikan,
bukan? Kebahagiaan adalah apa yang kamu rasakan. Urgensi bersyukur atas sekecil
apapun nikmat yang diberikan sangat patut untuk direfleksikan. Ketika menyadari
mulai bertumbuhnya rasa syukur di relung hati ―atas hal-hal sederhana yang ada
disekitar kita― Allah akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiran. Seperti
yang dijelaskan dalam Q.S. Ibrahim ayat 7:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’”
Pepatah pernah berkata, bersyukur itu berbanding
lurus dengan kebahagiaan. Semakin mudah mensyukuri hal-hal kecil
disekitar, semakin sering kamu bahagia, dan bahagia itu sederhana―
“―Yang rumit itu penafsirannya.” celetuk sang
pemuda.
“Hahahaha”
Kediaman rumah sederhana bercat krem itu dipenuhi
oleh canda Amir Khan dan kelakar sang pemuda pagi itu.
___
Keterangan :
Chai = sejenis teh tradisional India dan daerah-daerah Asia Timur
Paratha = sejenis roti pipih
khas India
Komentar
Posting Komentar