RANTAI MSC #3
Kumpulan Rangkaian Cerita Islami (RANTAI) MSC LDK KMA
___
"Oh, ternyata di kota gini
ada juga ya tempat ngaji anak-anak. Kirain cuma di kampung gue doang."
Ia bergumam saat mendengar suara
anak-anak membaca doa penutup majelis. Ia masih
hafal betul doa itu. Memorinya yang kuat itu juga yang membuat dirinya mampu menghafal
nama bahkan kebiasaan
unik para kliennya
di kantor.
"Kayaknya baru kali ini gue pulang
cepet. Biasanya ada aja job
tambahan dari si bos.
Pantesan, ada TPA deket rumah aja gue sampe gak ngeh,” ucapnya sambil
menggelengkan kepala seraya
terus menatap anak-anak
kecil yang sedang
berpamitan.
Masing-masing anak terlihat sangat
gembira saat membawa pulang sebuah kantong kertas.
Ana yang penasaran dengan hal itu memperhatikan mereka dengan begitu fokus. Ia pun sampai tak sadar bahwa seorang wanita
sedang menatapnya. Wanita itu yang tadi disalami oleh anak-anak. Ah, sudah pasti dia adalah
guru mengaji di sana.
"Assalamualaikum, sore mbak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Wa'alaikumsalaam. Eh, anu, nggak
bu. Hehe. Tadi saya lagi lewat aja terus ngeliat anak-anak yang tadi. Habis pada ngaji ya bu?"
"Iya mbak. Anak-anak itu selalu
datang ke sini selepas waktu asar. Mayoritas masih belajar iqro, ada yang sudah bisa baca Al-Qur'an tapi ada juga
yang baru kenalan sama huruf hijaiyah."
Keduanya saling menyapa dengan nada yang hangat. Terlihat
dari wajahnya, sepertinya wanita itu sudah berusia kepala
tiga. Ana merasa wanita yang disapanya ini sangat
ramah, bahkan untuk seorang tetangga yang setelah sekian lama baru Ia sadari keberadaannya -karena terlarut dengan
pekerjaannya yang membuatnya selalu pulang larut malam.
"Mbak ini baru pulang kerja ya? Mari mampir dulu, saya punya teh hangat
di dalam." "Wah terima kasih banyak
bu."
Tanpa pikir panjang, Ia segera masuk ke
dalam bangunan yang bertuliskan 'TPA An-Nur' di pagarnya.
"Minum teh sebentar gapapa lah ya.
Itung-itung nebus kesalahan gue baru nyapa tetangga
sendiri. Mana si ibunya ramah banget," ucap Ana dalam hati sembari
menyimpan sepatunya di rak.
Jamuan
minum teh sore itu
ternyata berlangsung lebih lama dari dugaan Ana. Wanita itu sangat ramah, ditambah dengan Ana yang memang mudah
berinteraksi dengan orang lain -yang juga menjadi keahliannya dalam bekerja.
Ia bercerita cukup banyak di waktu yang tidak terlalu
banyak itu. Sebagian besar tentang pekerjaannya, mulai
dari gembira bisa pulang cepat hari
ini, sampai beberapa waktu lalu setelah kena marah si bos. Namun, tiba-tiba saja Ia ingat
akan sesuatu.
"Oh iya bu, mohon maaf sebelumnya ada sesuatu yang mau saya tanyakan." "Ada apa mbak?"
"Tadi sewaktu anak-anak itu pulang, saya lihat mereka semua membawa satu kantong kertas. Kalo boleh tau, kenapa ya bu?"
"Oalah, itu mbak. Setiap anak
memang mendapat satu kantong kertas mbak. Saya
kasih dua buah kue setiap mereka selesai mengaji. Oh iya, ini mbak, saya
ada juga buat mbak bawa pulang.
Anggap saja hadiah dari tetangga mbak ya. Semoga mbak juga bisa bahagia seperti anak-anak yang menerima
ini setiap sorenya,” ucap wanita itu lembut penuh senyum sambil memberi
satu kantong kertas
yang dibalut pita cantik berwarna
putih.
"Wah, terima kasih banyak ya bu.
Ibu baik sekali sama saya, padahal saya ini seperti tetangga baru ya buat ibu. Hehe. Semoga ibu diberi kesehatan oleh Allah, biar bisa membantu
lebih banyak anak-anak belajar mengaji."
"Iya mbak, sama-sama. Semoga mbak
juga sehat selalu ya. Kalo masalah pekerjaan
seperti yang mbak cerita tadi, tenang aja ya. Semoga Allah berikan
jawaban terbaik buat mbak."
Keduanya mengaminkan. Ana dan wanita itu
pun saling menyalami satu sama lain, tanda berpisahnya mereka sore itu.
___
Sesampainya di rumah, Ana dengan segera
kembali ke rutinitasnya. Bersih-bersih. Tubuh
sampai lantai rumahnya sudah bersih dan wangi. Sekarang tinggal memberi upeti kepada penghuni perutnya.
Terlambat sedikit bisa bahaya, mereka akan menabuh
genderang perang yang berbunyi kruyuk-kruyuk.
"Alhamdulillah. Akhirnya beres
juga. Tinggal nunggu adzan, shalat, siapin kerjaan besok, shalat lagi terus tidur dah."
"Ah. Pulang cepet gini tetep aja ya
capek juga,” ucapnya bersama dengan helaan napas saat menjatuhkan diri di atas kasur.
"Eh iya tadi gue dikasih kue apaan
ya sama ibu yang tadi. Coba cek ah, ntar takut
keburu ga enak."
Ia beranjak menuju mejanya. Perlahan
membuka kantong kertas mungil agar tak merusak
pita cantik yang melingkarinya. Saat kantong kertas terbuka, terlihat dua buah
kue seperti yang dikatakan wanita
ramah sore tadi.
"Lah, kok. Ini. Ini kan kue itu. Fortune cookies. Tapi, kenapa?"
Wajah yang gembira serupa anak-anak saat
mendapat hadiah, kini berganti menjadi wajah seorang
karyawan yang tiba-tiba
diminta lembur di hari pertama bekerja. Penuh tanya, namun dibalut
dengan rasa kesal.
"Ih, kok aneh sih. Tadi itu kan
TPA. Ibu itu juga, guru ngaji kan. Ngapain ngasih fortune cookies ke
anak-anak coba. Ini kan kue yang biasa dimakan orang Amrik, Jepang sama Cina itu."
Masih
dalam situasi kebingungan, Ana mencoba mengakses beberapa
memorinya. "Oh iya gue inget. Dulu temen gue, si Mei, pernah bawa ginian
ke kantor. Dia bilang
kue ini bakal bawa nasib baik. Terus besok-besoknya dia ganti HP. Katanya habis menang
lotre. Dia juga bilang sama gue kalo itu berkat fortune
cookies yang dia beli waktu itu. Di dalem kuenya ada tulisan kalo dia bakal
menang lotre. Waktu dia beli kue lagi, ternyata dia dapet yang isinya angka. Eh taunya bener nomer dia yang menang.
Ah, si Mei, ada-ada aja. Masa dapet HP dari dalem kue."
Setelah berhasil mengingat potongan
memorinya tentang kue itu, tiba-tiba saja raut
wajahnya berubah. Kini semakin dibumbui
dengan amarah.
"Gue gak habis pikir. Bisa-bisanya
guru ngaji kok malah ngasih ginian ke anak-anak. Kan sama aja ngajarin yang gak bener. Percaya itu kan sama
Allah, bukan sama beginian. Kalo mau untung, ya harus usaha.
Bukan malah makan
kue ramalan. Astaghfirullah."
Ana masih kesal. Ia tampak kecewa.
Wanita yang baru dikenalnya sore tadi sebagai
orang yang baik, kini justru mendatangkan kekecewaan baginya. Sejurus
kemudian, Ia mengambil sebuah kue
dari dalam kantong kertas yang terbuka dari tadi. Ana hanya ingin menguatkan fakta akan rasa kecewanya melihat
kejadian tadi.
Benar saja. Setelah
kue itu dibuka,
terdapat secarik kertas
yang digulung.
94:6.
Diambilnya kue terakhir
di dalam kantong.
Kemudian Ia membukanya.
93:7.
"Kan. Bener. Masa anak-anak di
pengajian dikasih beginian, disuruh main lotre? Yaa Allah. Besok gue harus ketemu lagi nih sama si ibu tadi. Gue
harus ngobrol soal ini. Ga bisa dibiarin."
Perihal
kue yang sepele -tapi nyatanya
tidak, membuat Ana merasa lelah. Ia merapikan
kembali sisa keributan
yang dibuatnya, menyimpan
kembali kertas barang buktinya
dalam kantong kertas itu. Bergegas untuk kembali menuntaskan agendanya malam itu lalu pergi tidur. Ia harus
mengumpulkan energi untuk esok hari. Ada rapat kantor yang harus Ia datangi
dan klien yang perlu Ia jumpai. Selain
itu, ada seorang
wanita yang harus Ia temui.
___
Hari esoknya yang padat ternyata berlangsung cepat. Waktunya tak terasa, namun tiba-tiba sore ini tubuhnya seperti mati rasa. Pegal. Penat. Ana jelas perlu istirahat. Ia memutuskan untuk pulang tepat waktu. Sepertinya lebih baik menyelesaikan sisa pekerjaan hari ini di rumah. Duduk di sofa ditemani secangkir coklat panas terasa lebih nikmat meski harus tidur cukup larut. Dibandingkan dengan kerja lembur di kantornya yang hanya ditemani satu dua orang karyawan lain dan segelas kopi instan buatan office boy.
Memang sudah jadi keahliannya, Ana tidak
mudah melupakan sesuatu. Di antara langkah
kakinya Ia ingat bahwa sore ini Ia perlu berhenti sejenak di TPA yang tinggal beberapa
meter darinya.
"Semoga aja gue bisa ketemu lagi
sama si ibu. Semoga niat gue meluruskan hal ini ada di jalan yang bener,”
gumam Ana dalam hati.
Benar saja. Tak lama menunggu sambil
mengamati anak-anak berpamitan -yang juga membawa
kantong kertas berhias
pita seperti kemarin,
wanita itu akhirnya
menyapa.
"Assalamualaikum, mbak. Baru pulang
ya? Mari mampir
dulu, saya punya teh hangat
mbak."
"Wa'alaikumsalaam. Iya bu saya baru pulang.
Wah, terima kasih
ya bu."
Sapaan hangat yang terasa sama persis
kemarin sore. Ana segera masuk mengikuti wanita itu. Sesaat kemudian,
teh beraroma melati dihidangkan. Mereka memulai percakapan. Seperti biasa. Bertanya
kabar hingga menceritakan pekerjaan hari ini.
"Mohon maaf sebelumnya, bu. Sebenarnya ada sesuatu yang membuat saya kembali mampir
sore ini."
"Ada apa mbak? Silakan
saja, mungkin ada yang bisa saya bantu."
"Masih tentang sekantong kue yang
diberikan kepada anak-anak bu. Kemarin saya sudah
membukanya. Terima kasih sebelumnya, bu. Namun, mengapa harus fortune
cookies bu?
Saya yakin, sebagai seorang guru ibu tentu paham betul cerita dan makna dari
kue itu. Tetapi mengapa bu, mengapa
anak-anak yang datang belajar mengkaji ilmu agama justru diberi oleh-oleh berupa kue yang berisi ramalan
dan keberuntungan?"
Dapat terdengar rasa kecewa dan sedikit
amarah dari suara Ana. Bersiap dengan berbagai
alibi yang akan dilontarkan wanita di depannya. Akan tetapi, wanita itu
lagi-lagi membuka jawaban
dengan tersenyum. Ana semakin bingung.
"Rupanya mbak sudah menerima
surat saya ya. Tapi mbak baru menerima
amplopnya, belum membuka
dan membaca isi suratnya."
"Maksudnya bu? Saya sudah membuka
kuenya. Saya mendapati secarik kertas berisi
angka, seperti fortune cookies pada
umumnya yang berisi angka keberuntungan untuk
menang undian. Betul
kan bu?"
Kali ini Ana seolah sedang memerankan seorang
detektif. Ia seakan sudah membawa bukti ke depan tersangka, menunggu
pengakuannya. Namun, Ia kembali dibuat bingung. Wanita
itu menarik napas
panjang, melepaskannya sambil
tersenyum.
"Saya paham betul apa yang mbak
pikirkan sekarang, sebab mbak bukan orang pertama
yang datang dengan pertanyaan seperti ini. Baiklah, akan saya jelaskan. Begini mbak, saya membuatkan kue itu untuk
anak-anak dengan niat membantu mereka untuk mengaji."
"Membantu anak-anak?"
"Benar, mbak. Seperti yang mbak
sudah temui, saya menyisipkan kertas dengan angka
tertentu di dalam setiap kue. Angka-angka itu merupakan nomor surat dan ayat
dari Al-Qur'an. Saya berharap mereka
makan kue itu dengan gembira. Kemudian mereka akan lebih gembira saat menemukan gulungan kertas di dalamnya. Lalu
mereka akan segera mencari ayat tersebut di Al-Qur'an, membaca
ayat dan artinya,
meresapinya, bahkan mungkin menulisnya kembali pada buku
catatan mereka. Selain itu, saya selalu berdoa agar suatu saat ayat-ayat tersebut dapat membantu menyelesaikan
beberapa persoalan yang mungkin sedang
mereka alami sebelum
atau sesaat memakan
kue itu."
Keduanya terdiam sejenak. Ana perlahan tertunduk. Terus menatap cangkir
berisi teh hangat
yang sedang dipeluk
kedua tangannya.
"Ini buat mbak. Masih kue yang sama
seperti yang mbak tanyakan tadi. Semoga kue-kue ini dapat mengantarkan mbak pada jawaban
yang sedang mbak cari. Nanti jika ingin mampir untuk bercerita atau sekadar
minum teh seperti ini, silakan saja ya mbak. Kita ini tetangga. Kita ini bersaudara. Betul kan, mbak?"
Obrolan minum teh sore itu ditutup
dengan senyum dari keduanya. Ana kembali diberi
oleh-oleh kecil dari tetangga lamanya yang baru Ia kenal. Setelah saling
menyalami, Ana kembali pulang bersama
sebuah jawaban.
___
Di rumahnya, Ana segera kembali pada
rutinitasnya. Mulai dari bersih-bersih hingga
menyelesaikan sisa pekerjaan siang tadi sesuai janjinya. Sebelum
beranjak tidur, Ia teringat akan sisa
keributan kemarin malam yang ia simpan kembali di kantongnya. Bergegas Ia meraih kantong kertas di atas mejanya. Membuka
gulungan kertas. Membacanya. Mengartikannya. Kemudian Ia kembali terdiam
bersama heningnya malam.
"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan," (QS. Al-Insyirah (94) : 6).
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk," (QS. Adh-Dhuha (93) : 7).
Kertas di tangannya itu kini basah. Ia
lupa menyeka air mata yang membasahi pipinya. Ia merasa sedang dipenuhi rasa syukur yang penuh haru.
"Terima kasih, yaa Allah. Engkau
telah membantuku. Terima kasih, bu. Dirimu telah menjadi perantara-Nya untuk menyampaikan ini pada ku."
___
Sekian.
Komentar
Posting Komentar