RANTAI MSC #3

  Kumpulan Rangkaian Cerita Islami (RANTAI) MSC LDK KMA


___


          Namanya Ana. Seorang wanita karir yang tahun lalu berusia dua puluh tiga. Wanita muda ini tinggal di sebuah rumah yang disewanya dari hasil kerja enam hari dalam seminggu. Terbiasa dengan gaya hidup metropolitan semasa sekolahnya, Ana lebih senang berjalan kaki menuju tempat kerjanya yang terletak tak terlalu jauh.

 

"Oh, ternyata di kota gini ada juga ya tempat ngaji anak-anak. Kirain cuma di kampung gue doang."

 

Ia bergumam saat mendengar suara anak-anak membaca doa penutup majelis. Ia masih hafal betul doa itu. Memorinya yang kuat itu juga yang membuat dirinya mampu menghafal nama bahkan kebiasaan unik para kliennya di kantor.

 

"Kayaknya baru kali ini gue pulang cepet. Biasanya ada aja job tambahan dari si bos. Pantesan, ada TPA deket rumah aja gue sampe gak ngeh,” ucapnya sambil menggelengkan kepala seraya terus menatap anak-anak kecil yang sedang berpamitan.

 

Masing-masing anak terlihat sangat gembira saat membawa pulang sebuah kantong kertas. Ana yang penasaran dengan hal itu memperhatikan mereka dengan begitu fokus. Ia pun sampai tak sadar bahwa seorang wanita sedang menatapnya. Wanita itu yang tadi disalami oleh anak-anak. Ah, sudah pasti dia adalah guru mengaji di sana.

 

"Assalamualaikum, sore mbak. Ada yang bisa saya bantu?"

 

"Wa'alaikumsalaam. Eh, anu, nggak bu. Hehe. Tadi saya lagi lewat aja terus ngeliat anak-anak yang tadi. Habis pada ngaji ya bu?"

 

"Iya mbak. Anak-anak itu selalu datang ke sini selepas waktu asar. Mayoritas masih belajar iqro, ada yang sudah bisa baca Al-Qur'an tapi ada juga yang baru kenalan sama huruf hijaiyah."

 

Keduanya saling menyapa dengan nada yang hangat. Terlihat dari wajahnya, sepertinya wanita itu sudah berusia kepala tiga. Ana merasa wanita yang disapanya ini sangat ramah, bahkan untuk seorang tetangga yang setelah sekian lama baru Ia sadari keberadaannya -karena terlarut dengan pekerjaannya yang membuatnya selalu pulang larut malam.

 

"Mbak ini baru pulang kerja ya? Mari mampir dulu, saya punya teh hangat di dalam." "Wah terima kasih banyak bu."

Tanpa pikir panjang, Ia segera masuk ke dalam bangunan yang bertuliskan 'TPA An-Nur' di pagarnya.

 

"Minum teh sebentar gapapa lah ya. Itung-itung nebus kesalahan gue baru nyapa tetangga sendiri. Mana si ibunya ramah banget," ucap Ana dalam hati sembari menyimpan sepatunya di rak.


Jamuan minum teh sore itu ternyata berlangsung lebih lama dari dugaan Ana. Wanita itu sangat ramah, ditambah dengan Ana yang memang mudah berinteraksi dengan orang lain -yang juga menjadi keahliannya dalam bekerja. Ia bercerita cukup banyak di waktu yang tidak terlalu banyak itu. Sebagian besar tentang pekerjaannya, mulai dari gembira bisa pulang cepat hari ini, sampai beberapa waktu lalu setelah kena marah si bos. Namun, tiba-tiba saja Ia ingat akan sesuatu.

 

"Oh iya bu, mohon maaf sebelumnya ada sesuatu yang mau saya tanyakan." "Ada apa mbak?"

"Tadi sewaktu anak-anak itu pulang, saya lihat mereka semua membawa satu kantong kertas. Kalo boleh tau, kenapa ya bu?"

 

"Oalah, itu mbak. Setiap anak memang mendapat satu kantong kertas mbak. Saya kasih dua buah kue setiap mereka selesai mengaji. Oh iya, ini mbak, saya ada juga buat mbak bawa pulang. Anggap saja hadiah dari tetangga mbak ya. Semoga mbak juga bisa bahagia seperti anak-anak yang menerima ini setiap sorenya,” ucap wanita itu lembut penuh senyum sambil memberi satu kantong kertas yang dibalut pita cantik berwarna putih.

 

"Wah, terima kasih banyak ya bu. Ibu baik sekali sama saya, padahal saya ini seperti tetangga baru ya buat ibu. Hehe. Semoga ibu diberi kesehatan oleh Allah, biar bisa membantu lebih banyak anak-anak belajar mengaji."

 

"Iya mbak, sama-sama. Semoga mbak juga sehat selalu ya. Kalo masalah pekerjaan seperti yang mbak cerita tadi, tenang aja ya. Semoga Allah berikan jawaban terbaik buat mbak."

 

Keduanya mengaminkan. Ana dan wanita itu pun saling menyalami satu sama lain, tanda berpisahnya mereka sore itu.

 

___

Sesampainya di rumah, Ana dengan segera kembali ke rutinitasnya. Bersih-bersih. Tubuh sampai lantai rumahnya sudah bersih dan wangi. Sekarang tinggal memberi upeti kepada penghuni perutnya. Terlambat sedikit bisa bahaya, mereka akan menabuh genderang perang yang berbunyi kruyuk-kruyuk.

 

"Alhamdulillah. Akhirnya beres juga. Tinggal nunggu adzan, shalat, siapin kerjaan besok, shalat lagi terus tidur dah."

 

"Ah. Pulang cepet gini tetep aja ya capek juga,” ucapnya bersama dengan helaan napas saat menjatuhkan diri di atas kasur.

 

"Eh iya tadi gue dikasih kue apaan ya sama ibu yang tadi. Coba cek ah, ntar takut keburu ga enak."

 

Ia beranjak menuju mejanya. Perlahan membuka kantong kertas mungil agar tak merusak pita cantik yang melingkarinya. Saat kantong kertas terbuka, terlihat dua buah kue seperti yang dikatakan wanita ramah sore tadi.

 

"Lah, kok. Ini. Ini kan kue itu. Fortune cookies. Tapi, kenapa?"


Wajah yang gembira serupa anak-anak saat mendapat hadiah, kini berganti menjadi wajah seorang karyawan yang tiba-tiba diminta lembur di hari pertama bekerja. Penuh tanya, namun dibalut dengan rasa kesal.

 

"Ih, kok aneh sih. Tadi itu kan TPA. Ibu itu juga, guru ngaji kan. Ngapain ngasih fortune cookies ke anak-anak coba. Ini kan kue yang biasa dimakan orang Amrik, Jepang sama Cina itu."

Masih dalam situasi kebingungan, Ana mencoba mengakses beberapa memorinya. "Oh iya gue inget. Dulu temen gue, si Mei, pernah bawa ginian ke kantor. Dia bilang

kue ini bakal bawa nasib baik. Terus besok-besoknya dia ganti HP. Katanya habis menang

lotre. Dia juga bilang sama gue kalo itu berkat fortune cookies yang dia beli waktu itu. Di dalem kuenya ada tulisan kalo dia bakal menang lotre. Waktu dia beli kue lagi, ternyata dia dapet yang isinya angka. Eh taunya bener nomer dia yang menang. Ah, si Mei, ada-ada aja. Masa dapet HP dari dalem kue."

 

Setelah berhasil mengingat potongan memorinya tentang kue itu, tiba-tiba saja raut wajahnya berubah. Kini semakin dibumbui dengan amarah.

 

"Gue gak habis pikir. Bisa-bisanya guru ngaji kok malah ngasih ginian ke anak-anak. Kan sama aja ngajarin yang gak bener. Percaya itu kan sama Allah, bukan sama beginian. Kalo mau untung, ya harus usaha. Bukan malah makan kue ramalan. Astaghfirullah."

 

Ana masih kesal. Ia tampak kecewa. Wanita yang baru dikenalnya sore tadi sebagai orang yang baik, kini justru mendatangkan kekecewaan baginya. Sejurus kemudian, Ia mengambil sebuah kue dari dalam kantong kertas yang terbuka dari tadi. Ana hanya ingin menguatkan fakta akan rasa kecewanya melihat kejadian tadi.

 

Benar saja. Setelah kue itu dibuka, terdapat secarik kertas yang digulung.

 

94:6.

 

Diambilnya kue terakhir di dalam kantong. Kemudian Ia membukanya.

 

93:7.

 

"Kan. Bener. Masa anak-anak di pengajian dikasih beginian, disuruh main lotre? Yaa Allah. Besok gue harus ketemu lagi nih sama si ibu tadi. Gue harus ngobrol soal ini. Ga bisa dibiarin."

 

Perihal kue yang sepele -tapi nyatanya tidak, membuat Ana merasa lelah. Ia merapikan kembali sisa keributan yang dibuatnya, menyimpan kembali kertas barang buktinya dalam kantong kertas itu. Bergegas untuk kembali menuntaskan agendanya malam itu lalu pergi tidur. Ia harus mengumpulkan energi untuk esok hari. Ada rapat kantor yang harus Ia datangi dan klien yang perlu Ia jumpai. Selain itu, ada seorang wanita yang harus Ia temui.

 

___

Hari esoknya yang padat ternyata berlangsung cepat. Waktunya tak terasa, namun tiba-tiba sore ini tubuhnya seperti mati rasa. Pegal. Penat. Ana jelas perlu istirahat. Ia memutuskan untuk pulang tepat waktu. Sepertinya lebih baik menyelesaikan sisa pekerjaan hari ini di rumah. Duduk di sofa ditemani secangkir coklat panas terasa lebih nikmat meski harus tidur cukup larut. Dibandingkan dengan kerja lembur di kantornya yang hanya ditemani satu dua orang karyawan lain dan segelas kopi instan buatan office boy.

 

Memang sudah jadi keahliannya, Ana tidak mudah melupakan sesuatu. Di antara langkah kakinya Ia ingat bahwa sore ini Ia perlu berhenti sejenak di TPA yang tinggal beberapa meter darinya.

 

"Semoga aja gue bisa ketemu lagi sama si ibu. Semoga niat gue meluruskan hal ini ada di jalan yang bener,” gumam Ana dalam hati.

 

Benar saja. Tak lama menunggu sambil mengamati anak-anak berpamitan -yang juga membawa kantong kertas berhias pita seperti kemarin, wanita itu akhirnya menyapa.

 

"Assalamualaikum, mbak. Baru pulang ya? Mari mampir dulu, saya punya teh hangat

mbak."

 

"Wa'alaikumsalaam. Iya bu saya baru pulang. Wah, terima kasih ya bu."

 

Sapaan hangat yang terasa sama persis kemarin sore. Ana segera masuk mengikuti wanita itu. Sesaat kemudian, teh beraroma melati dihidangkan. Mereka memulai percakapan. Seperti biasa. Bertanya kabar hingga menceritakan pekerjaan hari ini.

 

"Mohon maaf sebelumnya, bu. Sebenarnya ada sesuatu yang membuat saya kembali mampir sore ini."

 

"Ada apa mbak? Silakan saja, mungkin ada yang bisa saya bantu."

 

"Masih tentang sekantong kue yang diberikan kepada anak-anak bu. Kemarin saya sudah membukanya. Terima kasih sebelumnya, bu. Namun, mengapa harus fortune cookies bu? Saya yakin, sebagai seorang guru ibu tentu paham betul cerita dan makna dari kue itu. Tetapi mengapa bu, mengapa anak-anak yang datang belajar mengkaji ilmu agama justru diberi oleh-oleh berupa kue yang berisi ramalan dan keberuntungan?"

 

Dapat terdengar rasa kecewa dan sedikit amarah dari suara Ana. Bersiap dengan berbagai alibi yang akan dilontarkan wanita di depannya. Akan tetapi, wanita itu lagi-lagi membuka jawaban dengan tersenyum. Ana semakin bingung.

 

"Rupanya mbak sudah menerima surat saya ya. Tapi mbak baru menerima amplopnya, belum membuka dan membaca isi suratnya."

 

"Maksudnya bu? Saya sudah membuka kuenya. Saya mendapati secarik kertas berisi angka, seperti fortune cookies pada umumnya yang berisi angka keberuntungan untuk menang undian. Betul kan bu?"

 

Kali ini Ana seolah sedang memerankan seorang detektif. Ia seakan sudah membawa bukti ke depan tersangka, menunggu pengakuannya. Namun, Ia kembali dibuat bingung. Wanita itu menarik napas panjang, melepaskannya sambil tersenyum.


"Saya paham betul apa yang mbak pikirkan sekarang, sebab mbak bukan orang pertama yang datang dengan pertanyaan seperti ini. Baiklah, akan saya jelaskan. Begini mbak, saya membuatkan kue itu untuk anak-anak dengan niat membantu mereka untuk mengaji."

 

"Membantu anak-anak?"

 

"Benar, mbak. Seperti yang mbak sudah temui, saya menyisipkan kertas dengan angka tertentu di dalam setiap kue. Angka-angka itu merupakan nomor surat dan ayat dari Al-Qur'an. Saya berharap mereka makan kue itu dengan gembira. Kemudian mereka akan lebih gembira saat menemukan gulungan kertas di dalamnya. Lalu mereka akan segera mencari ayat tersebut di Al-Qur'an, membaca ayat dan artinya, meresapinya, bahkan mungkin menulisnya kembali pada buku catatan mereka. Selain itu, saya selalu berdoa agar suatu saat ayat-ayat tersebut dapat membantu menyelesaikan beberapa persoalan yang mungkin sedang mereka alami sebelum atau sesaat memakan kue itu."

 

Keduanya terdiam sejenak. Ana perlahan tertunduk. Terus menatap cangkir berisi teh hangat yang sedang dipeluk kedua tangannya.

 

"Ini buat mbak. Masih kue yang sama seperti yang mbak tanyakan tadi. Semoga kue-kue ini dapat mengantarkan mbak pada jawaban yang sedang mbak cari. Nanti jika ingin mampir untuk bercerita atau sekadar minum teh seperti ini, silakan saja ya mbak. Kita ini tetangga. Kita ini bersaudara. Betul kan, mbak?"

 

Obrolan minum teh sore itu ditutup dengan senyum dari keduanya. Ana kembali diberi oleh-oleh kecil dari tetangga lamanya yang baru Ia kenal. Setelah saling menyalami, Ana kembali pulang bersama sebuah jawaban.

 

___

Di rumahnya, Ana segera kembali pada rutinitasnya. Mulai dari bersih-bersih hingga menyelesaikan sisa pekerjaan siang tadi sesuai janjinya. Sebelum beranjak tidur, Ia teringat akan sisa keributan kemarin malam yang ia simpan kembali di kantongnya. Bergegas Ia meraih kantong kertas di atas mejanya. Membuka gulungan kertas. Membacanya. Mengartikannya. Kemudian Ia kembali terdiam bersama heningnya malam.

"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan," (QS. Al-Insyirah (94) : 6).

"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk," (QS. Adh-Dhuha (93) : 7).

 

Kertas di tangannya itu kini basah. Ia lupa menyeka air mata yang membasahi pipinya. Ia merasa sedang dipenuhi rasa syukur yang penuh haru.

 

"Terima kasih, yaa Allah. Engkau telah membantuku. Terima kasih, bu. Dirimu telah menjadi perantara-Nya untuk menyampaikan ini pada ku."


___




Sekian.

Komentar

Postingan Populer